Desa Pakraman Tergantung Kualitas SDM Warganya
3 November 2009Selama ini topik kehidupan masyarakat Bali yang beragama Hindu kebanyakan berkutat dalam urusan mencari soroh, pertikaian batas desa, pertentangan konsep praktik manak salah, upacara, masalah penguburan mayat, awig-awig yang tak sesuai kebutuhan zaman, penanjung batu dan masalah sosial lain di desa pakraman.
Seiring dengan perkembangan dan kemajuan zaman masalah lain pun meningkat, seperti pencemaran lingkungan, sampah plastik, penduduk pendatang dan lain sebagainya. Belum lagi masalah-masalah tersebut teratasi, sekarang ada juga kekhawatiran beberapa orang tentang akan punahnya budaya Bali dan tradisi Bali. Tuduhan terhadap memudarnya tradisi, budaya serta agama diarahkan jepada pengaruh zaman berkembang terutama globalisasi. Karena itu keberadaan desa pakraman di Bali dianggap mutlak harus ada untuk menopang eksistensi Hindu, lebih-lebih lagi diisyaratkan desa pakraman yang dimaksud adalah seperti konsep masa lampau.
Di zaman yang serba cepat ini kemampuan beradaptasi dengan perkembangan keadaan sangat penting guna mempertahankan diri dari derasnya era kesejagatan. Bila kita tak mampu melakukan hal itu, maka sudah pasti kita akan tergilas oleh modernisasi. Begitu pula tatanan sosial kemasyarakatan perlu disesuaikan dengan keadaan zaman, pekerjaan masyarakat, kebutuhan sosial, keterampilan masing-masing individu di suatu desa pakraman. Begitu pula awig-awig seharusnya ditujukan untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat pendukungnya. Disadari atau tidak, kita di Bali sesungguhnya telah berada dalam cengkeraman penjajahan gaya baru yang memanifestasikan dirinya di berbagai bidang, seperti, teknologi, transportasi, teknik, alat komunikasi dan bidang lainnya. Buaian kemajuan itu telah menjadikan masyarakat kita menjadi masyarakat konsumtif, tak terkecuali warga desa pakraman, belum lagi ketergantungan kita terhadap bahan-bahan upacara dari daerah lain.
Dari contoh masalah-masalah sosial tersebut di atas, kita perlu membekali diri kita dengan sumber daya yang memadai serta pengetahuan agama, guna membentengi diri dari serbuan zaman. Penulis teringat akan pesan tuan rumah saya saat berada di Kupang tahun 1987. Beliau bernama Bapak Sebastian Nggadas dari Pulau Rote. Ia bilang kepada saya dan teman saya, I Nyoman Raman dari negara, “Kalian harus meningkatkan kecakapan, pengetahuan, keterampilan demi menghadapi masa datang. Tuhan tak akan pernah menolong kalian, bila kalian bodoh dan malas dan jangan memilih-milih pekerjaan, lakukan apa saja yang kalian bisa.”
Kita sebagai masyarakat Bali seharusnya memulai cakrawala baru dalam menghadapi era kesejagatan. Pola pikir, tradisi yang tak sesuai lagi dengan zaman sebaiknya ditinggalkan, kebiasaan buruk hendaknya dibuang.
Kekhawatiran akan pudarnya tradisi, budaya dan agama Hindu tak perlu terjadi, sepanjang kita memiliki sumber daya manusia yang profesional, kretaif, terampil, berbudipekerti luhur dan peduli atas sesama. Apalagi di zaman sekarang di mana-mana ada kelompok kesenian, sanggar seni, group musik Bali dan seka-seka seni lainnya. Bahkan kita juga sudah memiliki sekolah tinggi seni, lalu apa yang harus dikhawatiorkan? Bukankah ini pertanda diamisnya perkembangan tradisi dan budaya Bali mengikuti irama zaman, lantas mengapa kita phobia terhadap perubahan?
Semestinya generasi tua khawatir bila kegiatan yang dilakukannya ada yang tak sesuai dengan kebijakan strategis di masa depan. Misalnya, penjualan tanah warisan, tidak menyekolahkan anak, dan lainnya. Begitu juga aturan atau tradisi di desa pakraman yang tak sesuai lagi dengan perkembangan zaman atau menghambat kemajuan dan kreatifitas, maka sebaiknya aturan itu dirasionalkan.
Demi masa depan Bali dan umat Hindu, maka generasi tua sudah sepatutnya memberikan pendidikan yang cukup kepada generasi mudanya, memberinya keteladanan budi pekerti yang luhur. Atau setidaknya generasi muda kita mendapatkan pendidikan dan keterampilan yang memungkinkannya memiliki kecakapan yang bisa membantu mereka dalam bersaing mencari kerja atau menciptakan lapangan pekerjaan di masa depan.
Semoga di masa depan kita lebih banyak berbuat yadnya demi kesejahteraan warga Hindu dalam artian yadnya atau upacara yang dipersembahkan seimbang antara yang ke niskala dan sekala. Agar budaya dan tradisi itu bisa sejalan dengan perkembangan zaman, maka kita perlu juga belajar tentang efektifitas dan efisiensi waktu, agar waktu itu tak terbuang percuma. Jadi persoalannya adalah, bukan perlunya dipertahankan desa pakraman atau tidak untuk menjaga eksistensi Hindu di Bali, tapi yang esensial adalah bagaimana sumber daya manusia dari warga desa pakraman itu sendiri. Karena maju mundurnya sebuah lembaga, organisasi dan sejenisnya tergantung dari kualitas personelnya, bukan sakral atau tidaknya lembaga itu.
I Wayan Miasa
Tinggalkan komentar